Bagi orang Jepang, Kabuki mungkin memiliki arti seperti teater Shakespeare bagi orang Inggris atau opera tradisional bagi orang Italia.
Kabuki merupakan teater tradisional Jepang, menggabungkan unsur tari, pantomim, musik, dan drama.
Kabuki adalah salah satu dari tiga gaya teater tradisional Jepang yang paling terkenal.
Dua gaya teater lainnya adalah Bunraku dan Teater Noh.
Apa itu Kabuki?
Kabuki (歌舞伎) terdiri dari tiga karakter kanji: ka (歌) yang berarti bernyanyi, bu (舞) yang mewakili tarian, dan ki (伎) yang menunjukkan keterampilan.
Secara harfiah, Kabuki berarti seni nyanyian dan tarian, meskipun pertunjukan ini sebenarnya melampaui dua elemen tersebut.
Secara keseluruhan, Kabuki Jepang adalah tontonan visual aneh yang lebih berfokus pada penampilan daripada cerita.
Elemen produksi seperti kostum, pencahayaan, alat peraga, dan desain set melengkapi aspek lagu dan tarian.
Semua disajikan dalam mode yang dibuat megah untuk menciptakan pertunjukan tunggal yang spektakuler.
Pelaku sering memakai kostum dan make-up berlebihan untuk menegaskan karakter mereka. Riasan antara lain menggunakan tepung beras untuk menciptakan efek porselen pada kulit.
Sejarah Kabuki
Bentuk Kabuki berasal dari awal abad ke-17, ketika seorang penari wanita bernama Okuni (yang pernah menjadi pelayan di Kuil Agung Izumo), mencapai popularitas dengan parodi doa-doa Buddhis.
Okuni mulai mementaskan tarian di luar Kyoto, ibukota kuno Jepang.
Dia mengumpulkan sekelompok pemain wanita untuk menari dan berakting.
Kabuki Okuni adalah hiburan dramatis pertama yang dirancang untuk ditonton orang biasa di Jepang.
Karena pementasan terutama diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah, teater Kabuki tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat kelas atas.
Namun seiring waktu, beberapa pemain Kabuki perempuan menjadi populer untuk lagu mesum dan tarian provokatif mereka.
Prostitusi juga menjadi praktik umum mengikuti pementasan Kabuki.
Unsur sensual dan prostitusi yang menyertainya kemudian dianggap mengganggu oleh pemerintah, sehingga pada tahun 1629 melarang perempuan untuk tampil.
Laki-laki muda kemudian berpakaian seperti perempuan untuk memerankan tokoh perempuan, tetapi jenis Kabuki ini juga dikekang pada tahun 1652, sekali lagi karena alasan moral.
Akhirnya, laki-laki yang lebih dewasa mulai mengambil alih peran, dan bentuk hiburan dengan pemeran laki-laki inilah yang bertahan hingga saat ini.

Drama Kabuki kemudian semakin tumbuh dan aktingnya menjadi lebih halus.
Seiring dengan waktu, pertunjukan teater Kabuki menjadi semakin berkualitas.
Penekanan bergeser dari tema tarian menjadi drama dan komedi berdasarkan tema kontemporer seperti pengkhianatan atau intrik politik.
Peristiwa sejarah yang kemudian diadopsi ke panggung Kabuki diantaranya adalah Chūshingura (1748).
Kisah ini merupakan dramatisasi dari insiden terkenal tahun 1701–1703 di mana sekelompok 47 ronin (samurai tak bertuan), setelah menunggu dengan sabar selama hampir dua tahun, akhirnya melampiaskan dendam pada orang yang telah membunuh tuan mereka.
Akhirnya, pada awal abad ke-18, Kabuki telah menjadi bentuk seni mapan yang mampu menampilkan drama yang mengharukan dan serius.
Untuk diketahui, Bugaku, upacara tarian istana kekaisaran, dan Teater Noh, merupakan pertunjukan seni eksklusif yang diperuntukkan bagi bangsawan dan kelas prajurit yang dikenal sebagai samurai.
Di lain sisi, Kabuki menjadi teater warga biasa dan petani.
Bugaku dan Noh memiliki keanggunan dan gerakan yang sangat halus, sedangkan Kabuki dinilai agak kasar dan tidak terkendali.
Kabuki mendapatkan banyak materinya dari Noh, dan ketika dilarang pada tahun 1652, Kabuki membangun kembali dirinya sendiri dengan mengadaptasi dan memparodikan kyōgen (sketsa sebagai selingan komik selama pertunjukan Noh).
Selama periode ini sekelompok aktor khusus, yang disebut onnagata, muncul untuk memainkan peran perempuan.
Aktor-aktor ini sering menjadi sangat populer di masanya.
Aktor Kabuki umumnya juga mempelajari gerakan dan dialog dari teater boneka populer yang disebut Bunraku.
Seiring apresiasi dari pemerintah dan kalangan kelas atas yang semakin meningkat, teater Kabuki menjadi semakin populer di Jepang.
Pada tahun 2005, Kabuki masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO.
Aktor dan Penulis Drama Kabuki Paling Terkenal
Selain Izumo no Okuni, banyak tokoh lain yang mempengaruhi perkembangan kabuki.
Salah satu yang paling terkenal adalah Chikamatsu Monzaemon (1653-1725), seorang penulis drama kabuki Jepang yang sangat produktif sehingga sering dibandingkan dengan Shakespeare.
Dia menulis The Love Suicide at Sonezaki serta naskah lain yang tak terhitung jumlahnya. Banyak juga ceritanya berkisah tentang bunuh diri yang tragis.
Meskipun biasanya naskah tidak dianggap sepenting efek visual, Monzaemon dihargai karena menyempurnakan dan mempopulerkan konsep kabuki yang sekarang dikenal.
Sakata Tojuro I (1647-1709) adalah seorang aktor yang berkolaborasi dengan Chikamatsu Monzaemon. Dia disukai karena gaya aktingnya yang realistis dan lembut.
Sekitar waktu yang sama, Ichikawa Danjuro I (1660-1704) juga terkenal sebagai pemain yang bombastis dan high profile.
Gaya Tojuro sempurna untuk cerita romantis; sedangkan Danjuro cocok bermain untuk kisah berdarah perang dan konflik. Gaya mereka menjadi favorit dan banyak ditiru hingga saat ini.
Baik “Sakata Tojuro” dan “Ichikawa Danjuro” diabadikan sebagai yago, nama panggung yang diturunkan kepada para aktor yang melanjutkan metode mereka.
Untuk diketahui, aktor Kabuki memiliki nama panggung yang berbeda dari nama lahir mereka.
Nama panggung ini diturunkan antar generasi dan menyandang kehormatan besar yang terikat dengannya.
Banyak nama dikaitkan dengan peran atau gaya akting tertentu, dan pemilik nama baru dari generasi selanjutnya harus memenuhi harapan ini.
Artinya, aktor tidak hanya mengambil nama, tetapi mewujudkan semangat, gaya, atau keterampilan aktor yang sebelumnya memegang nama itu.
Banyak aktor akan menyandang setidaknya tiga nama panggung selama karir mereka.
Setiap pemain generasi baru biasanya menambahkan angka di akhir nama mereka seperti Ichikawa Danjuro XII dan Sakata Tojuro IV.
Nama pemain kabuki lain yang terkenal meliputi Ichikawa Ebizo, Matsumoto Koshiro, dan Nakamura Kanzaburo.
Tema Drama Kabuki
Tiga kategori utama lakon Kabuki adalah jidaimono (kisah sejarah dan legenda awal), sewamono (kisah kontemporer pasca tahun 1600) dan shosagoto (drama tari).
Salah satu tema Kabuki yang paling sentral adalah benturan antara moralitas dan emosi manusia.
Cita-cita moral Jepang, baik secara historis maupun saat ini, sangat bergantung pada filosofi agama Shinto, Buddhisme, dan Konfusianisme, yang cenderung menekankan kualitas seperti pengabdian kepada orang yang lebih tua dan komunitas.
Namun, emosi seperti balas dendam dan cinta sering kali menghalangi tugas keluarga dan tugas lainnya, sehingga menciptakan konflik. Kisah Kabuki sering berakhir dengan tragedi.
Drama Kabuki terkadang memasukkan unsur pendidikan atau upaya untuk memancing pemikiran, tetapi fokus utamanya adalah pada pengalaman inderawi dalam menyaksikan tontonan visual yang hidup.
Beberapa lakon Kabuki yang terkenal meliputi:
– Kanadahon Chushingura (Treasury of Loyal Retainers)
Sebuah jidaimono berdasarkan kisah terkenal 47 Ronin, kisah nyata tentang sekelompok samurai yang membalas kematian tuan mereka yang terbunuh sebelum melakukan ritual bunuh diri.
– Sugawara Denju Tenarai Kagami (Sugawara and the Secrets of Calligraphy)
Berdasarkan kehidupan cendekiawan era Heian (794-1185), Sugawara no Michizane.
Diasingkan dari Kyoto, sejumlah malapetaka menimpa musuh-musuhnya setelah kematiannya.
Orang-orang kemudian mendewakan Sugawara untuk menenangkan roh pendendamnya.
– Sonezaki Shinju (The Love Suicide at Sonezaki)
Sebuah sewamono tentang cinta terlarang antara seorang pedagang yatim piatu bernama Tokubei dan kekasihnya Ohatsu, seorang pelacur.
Pasangan itu bunuh diri di sebuah kuil yang didedikasikan untuk Sugawara no Michizane.[]