Suiseki merupakan kata dalam bahasa Jepang yang berarti “batu air.”
Istilah ini digunakan untuk merujuk pada tradisi mengumpulkan dan mengapresiasi batu sekaligus untuk menyebut batu koleksi itu sendiri.
Suiseki merupakan salah satu di antara banyak seni estetika tradisional Jepang. Koleksi suiseki bisa ditemui disimpan di rumah, kebun, dan museum.
Sejarah Suiseki
Suiseki berasal dari Cina, yang disebut sebagai “Gongshi” atau batu cendekia, dan sampai batas tertentu juga dipengaruhi Korea, yang disebut “Suseok”.
Disebut batu cendekia (sarjana) karena batuan yang terbentuk secara alami tersebut diapresiasi oleh para cendekiawan Cina dan dianggap memiliki nilai.
Orang Cina dikenal telah memiliki tradisi apresiasi pada batu yang terbentuk secara alami selama lebih dari dua ribu tahun.
Gongshi yang setara dengan Suiseki masih dihargai di Cina dan sering dipamerkan pada berbagai kesempatan.
Antara tahun 592-628, Permaisuri Jepang Suiko menerima Gongshi pertama dari istana kekaisaran Cina.
Memiliki bentuk ajaib dengan lubang dan permukaan yang sangat terkikis, batu tersebut sangat menarik bagi aristokrasi Jepang.
Batu-batu vertikal tersebut, yang ditafsirkan sebagai pegunungan dan tebing Cina yang megah, tetap populer di Jepang selama ratusan tahun.
Saat kelas prajurit samurai naik ke tampuk kekuasaan di Jepang selama periode Kamakura (1183-1333), hubungan antara Cina dan Jepang turut membawa ajaran Buddhisme Zen yang diterima secara luas oleh para samurai.
Seiring ajaran Zen yang semakin berkembang, batu dengan garis yang lebih halus menjadi sangat dicari karena dianggap sesuai dengan ajaran Buddha tentang kesederhanaan, wawasan intuitif dan meditasi.
Selama periode Muramachi (1338-1573), para biksu Zen mampu mempengaruhi aristokrasi Jepang untuk lebih menyukai batu yang sederhana dengan detail halus.
Batu hitam pekat dari dulu hingga sekarang masih dianggap ideal.
Batu-batu tersebut menjadi sarana untuk pemurnian spiritual, kesadaran batin, dan pencerahan.

Munculnya pedagang kaya selama periode Edo (1603-1867) diikuti dengan peningkatan minat pada Suiseki dan mulai terjadi persaingan antara aristokrasi dan pedagang untuk mendapatkan batu yang bagus.
Pada saat ini, Jepang telah menutup perbatasan mereka dengan dunia luar, membawa periode isolasi yang memungkinkan seni mereka berkembang tanpa campur tangan pihak luar.
Karena penurunan tingkat kekayaan bangsawan dan samurai selama periode Meiji (1868-1912), seni Suiseki menjadi agak stagnan.
Tetapi di periode ini juga terjadi perkembangan klasifikasi Suiseki yang masih digunakan sampai sekarang.
Minat pada Suiseki akhirnya diperluas dan berkembang sepanjang abad kedua puluh, dan tumbuh menjadi seni multi-budaya di komunitas internasional dengan peminat yang berasal dari seluruh dunia.
Menarik untuk dicatat bahwa pameran umum bonsai (dan mungkin suiseki) diadakan di negara-negara barat jauh sebelum dilakukan di Jepang.
Bonsai ditampilkan di Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat di berbagai pameran dunia dan eksposisi internasional yang diadakan antara tahun 1860 hingga 1920.
Di Jepang, pameran publik pertama diadakan di Taman Hibiya di Tokyo pada Oktober 1927 dan kemudian setiap tahun hingga tahun 1933.
Pameran tersebut kemudian digantikan oleh Pameran Bonsai Kokufu-ten yang diadakan di Museum Seni Metropolitan di Taman Ueno di Tokyo.
Konsep Suiseki
Batu-batu yang digunakan dalam suiseki terbentuk secara alami. Artinya, semua batu-batu tersebut tidak boleh dipahat atau dibentuk oleh manusia.
Suiseki memang ditujukan untuk menghargai batu hasil bentukan alam yang tidak melibatkan campur tangan manusia.
Sebagian batu dipasang pada balok kayu dan dikenal sebagai suiseki daiza.
Batu gelap cenderung lebih disukai, begitu pula dengan batu yang kaya detail estetika seperti urat dan variasi warna.
Namun eksotisme saja tidaklah cukup untuk menjadikan sebuah batu bernilai. Unsur lain yang juga penting adalah bentuk dari batu itu sendiri.
Sebagian batu dianggap bernilai karena secara perlahan-lahan dibentuk alam menyerupai objek tertentu.
Batu dengan bentuk lanskap dikenal sangat populer, seperti batu yang terlihat seperti air terjun, pegunungan, dan fitur alam lainnya.
Suiseki lanskap sering digunakan sebagai pelengkap bonsai sebagai aksen dekoratif.
Namun, batu dengan bentuk abstrak juga diminati yang mungkin mengambil bentuk tanaman, hewan, dan tokoh-tokoh lainnya.
Suiseki biasanya ditampilkan dalam dua cara:
- Batu dilengkapi dengan alas kayu (daiza).
- Batu ditempatkan di nampan tahan air atau mangkuk keramik (suiban) atau perunggu (doban).
Batu-batu tersebut bukan sembarang batu yang dapat ditemukan di alam.
Agar disebut Suiseki, suatu batu harus mengekspresikan sesuatu dan memiliki bentuk, warna dan tekstur khusus.
Batu Suiseki berasal dari alam dan ditemukan di sungai, laut, dan kawasan karst.
Batu tidak diperbolehkan untuk dibentuk, kecuali pemotongan batu agar memiliki alas yang rata, sehingga dapat diletakkan dengan stabil di atas daiza, suiban atau doban, agar dapat ditampilkan dengan baik.
Seperti seni tradisional Jepang lainnya, Suiseki diajarkan oleh seorang ahli (master).
Orang-orang di luar Jepang dapat belajar melalui master, meskipun sebagian yang lain mencoba mempelajarinya melalui buku atau dengan rajin mengunjungi pameran.

Klasifikasi Suiseki
Sansuiseki diklasifikasikan menjadi banyak jenis. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
- Yamagata-ishi/Toyama-ishi/Shimagata-ishi: batu yang mengingatkan pada gunung
- Taki-ishi: batu yang bagiannya mengingatkan pada air terjun
- Tamari/Mizutamari: batu yang memiliki penyok sehingga dapat menyimpan air seperti kolam
- Kuzuya: batu yang bentuknya mengingatkan pada rumah terpencil di pedesaan
- Doha-ishi: batu datar dengan tonjolan yang mengingatkan pada gunung
- Dan-seki: batu datar yang sebagian bertingkat
- Kaburi-ishi/Amayadori: batu beratap